Hai
assalamualaikum.wr.wb ! tak wajar rasanya tanpa diawali dengan salam saat
setiap perjumpaan pertama kita dalam perjumpaan dengan ReLIEF kali ini in
BLOG, karena sejatinya salam adalah doa antara kaum muslim yang satu
dengan yang lain, Maka sudah selayaknya bagi setiap pejuang EKIS membiasakan
hal itu walau terliahat sepele,
Nah, kali ini kita
akan membahas Terkait status murabahah saat ini yang kian tak jelas bahkan
tersamarkan bagaimana makna yang
terjernih sebenarnya, maka status murabahah halal atau haram, menjadi bagian
yang tak tentu arah juga. Sebagai mukmin sejati dalam menghadapi masalah –
masalah yang seperti ini harus selalu kembali pada patokan hidupnya yaitu
al-qur’an dan sunnah.
Misalkan, seseorang
ingin membeli tanah , sementara dia tidak punya dana. Dia datang kepada orang
lain,atau bank , dan berkata,”aku ingin
membeli tanah, tetapi aku tidk punya dana.” Orang atau bank tersebut menjawab,
“aku akan beli atas namaku, lalu aku jual kepada kamu dengan harga plus margin
(laba) yang lebih dengan jangka waktu tertentu.” Kesepakatan seperti ini boleh
atau tidak? Apakah jumlah tambahan dari harga tanah itu termasuk riba atau
keuntungan?
Nah, menurut kajian
ustadz hafidz Abdurrahman (selaku pengasuh rubrik Tanya jawab di suatu media tabloid ternama diseluruh dunia), beliau
mengatakan sebelum membahas status hukumnya, boleh tidaknya, penting untuk
dipahami makna dan konotasi murabahah, baik secara harfiah maupun istilah,
dikalangan fuqaha’.
Ada beberapa
pengertian murabahah itu, yang ada sebagai berikut:
Pertama, Murabahah secara harfiah diambil
dari ar-ribh (keuntungan) , atau an-nama’ fi at-tajr (tambahan dalam jual
beli). Disebut murabahah jika seseorang menjual barang dengan keuntungan ;
misalnya, tiap 10 dirham mendapatkan 1 dirham. Begitu juga membeli dengan
murabahah, yaitu pembelian yang dilakukan dengan keuntungan.(ibn al-mandzur, lisan al- arab, 11/422.433)
Kedua, Menurut istilah, imam malik
mendefinisikan murabahah dengan, “keuntungan yang disebutkan atas sejumlah
harga, atau dia mendapatkan keuntungan untuk 1 dirham dengan 1 dirham yang
lain;1 dirham mendapatkan setengah dirham yang lain; 10 dirham dengan 11 dirham
yang lain, atau kurang atau lebih ”(al-imam
malik, al-mudawanah al –kubra,111/325)
Ibn ‘abidin, mazhab
Hanafi, menyatakan, “apa yang dia miliki, dengan harga yang sama disertai
kelebihan” (muhammah amin ibn ‘abidin,
radd al- mukhtar ‘ala ad-durr al- mukhtar syarah tanwir al-abshar, 1/132,133)
Al-bujairimi, dari
mazhab Syafi’i, menyatakan, “murabahah adalah jual beli dengan harga sepadan
atau yang sama disertai keuntungan yang dibagi beberapa bagian” (sulaiman bin ‘umar bin Muhammad al
bujairimi, syarh al bujairimi ‘ala alminhaj al-musammt at-tajrid li naf’
al-‘abid,11/282)
Ibn qudamah, mazhab
Hambali, menyatakan, ketika dia menjual
barang dengan keuntungan sehingga dia bias mengatakan, “modal saya 100, saya
jual kepada anda dengan modal ditambah keuntungan 10” (‘abudurrahman bin abi ‘amr Muhammad bin ahmad bin qudamah, al-mughni
ma’a syarh al-kabir,IV/102).
Nah, itulah gambaran
beberapa definisi terkait apakah murabahah itu??? Yang telah dijelaskan olah
beberapa para ulama fuqaha, yang setidaknya telah tergambarkan dengan jelas
daripada sebelum mengetahuinya. Hal tersebut juga merupakan beberapa makna dan
konotasi murabahah yang telah dijelaskan oleh para fuqaha’. Dilihat dari fakta
tersebut , maka sebenarnya murabahah adalah terkait hal jual belil itu sendiri.
Dengan demkian, maka dalam murabahah seharusnya memenuhi rukun-rukunnya itu
sendiri yang berlaku dalam rukun-rukun jual beli, yaitu salah satunya ijab dan
qabul; bias dilakukan dengan lisan, atau ta’athi’. (Dr.Ayidh Fadhl asy-Sya’rawi , al-masharif al-islamiyah Dirasat
Ilmiyah Fiqhiyyah li al-mumarasat al-‘ilmiyah, Kuwait, cet.11,2008, hlm.380)
Misal, jual beli di
minimarket/supermarket manakala konsumen bias membeli barang dan membayar
dikasir berdasarkan harga yang sudah dia ketahui pada lebel yang tertempel.
Didalamnya juga berlaku syarat-syarat jual beli, baik secara umum maupun
khusus.
Ketiga,
rukun dan syarat
murabahah berarti rukun dan syarat jual
beli. Tentang rukun, telah dijelaskan sebelumnya, yaitu ijab qabul, baik lisan
maupun ta’athi’, adapun tentang syarat, maka berlaku syarat- syarat umum,
sebagai berikut:
1.
Syarat in’iqad dalam jual beli, yaitu syarat yang
terkait dengan rukun akad (ijab qabul); (1) majelis akadnya satu; (2)kesesuaian
antara ijab dan qabul ; (3)syarat orang yang melakukan akad yaitu berakal,
lebih dari satu pihak; (4) syarat barang yang diakadkan yaitu: harus ada
(maujud), berupa harta yang mempunyai nilai, menjadi milik sendiri, bsa
diserahkan saat akad, dimiliki penjualnya saat akad, dan mempunyai nilai.
2.
Syarat shihah dalam jual beli yaitu: adanya
kerelaan, barang yang dijual bias diserahkan, tidak membahayakan diri
penjualnya, barang dan harganya jelas sehingga bias terhindar dari sengketa,
serta bebas dari syarat – syarat merusak lainnya.
3.
Syarat nafadz dalam jual beli yaitu : barang yang
dijual dimiliki penjual, dia mempunyai kewenangangan untuk men-thasharuf-kan
brang tersebut, barang yang dijual bukan milik orang lain.
4.
Syarat luzum dalam jual beli yaitu jual beli
tersebut bebas dari khiyar (antara memilih
dilanjutkan atau dibatalkan jual belinya), seperti khiyar ru’yah, khiyar
aib, khiyar syarath, khiyar ta’yin.
5.
Syarta ta’mim dalam jual beli yaitu syarat serah
terima(qabdh).
Adapun terkait syarat
khusus dalam murabahah digambarkan oleh para fuqaha’ sebagai berikut:
1.
Mengetahui harga awal penjual (modal).
2.
Jual beli yang pertama yang sah.
3.
Keuntungan yang diperoleh penjualnya jelas.
4.
Mengetahui keadaan barang yang dijual , baik yang
menjadi cirri khasnya atau yang umumnya tidak disukai.
5.
Mengetahui deskripsi harga, jika harga tersebut
menggunakan dirham, berapa dirham? Jika menggunakan dinar, berapa dinar? Jika
barter, jelas barangnya. Jika dicicil, jelas cicilannya.
6.
Selamat dari pengkhianatan, semi pengkhiantan, atau
klaim pihak lain. Karena ini merupakan jual beli amanah.
Keempat,
dari aspek
implementasi murabahah, baik yang terkait dengan syarat –syarat umum maupun
khusus, bias dipilah sebagai berikut:
Pertama, praktik murabahah perorangan,
sebagaimana yang pertanyaan diatas tadi bentuknya lebih sederhana dibandingkan dengan praktik murabahah yang
dijalankan oleh perbankan.
Dalam hal perorangan ini, praktik murabahah inilah
yang dijelaskan oleh al-‘Alim ‘Atha’ Abu Rusythah,
dalam soal jawabnya. Beliau memasukkan praktik murabahah disini sebagai
muamalah yang haram karena telah melakukan dua akad dalam satu transaksi; saat
keduanya saling dipersyaratkan satu sama lain. Missal, kita tidak boleh
melakukan kesepakatan, “saya membeli mobil anda , tetapi anda harus beli tanah
saya,” ini tidak boleh. Masing – masing akad tersebut harus dipisahkan dan
dilaksanakan sesuai ketentuan syariahnya, tanpa disyaratkan dengan akad lain.
Imam Ahmad
mengeluarkan riwayat dari ‘Abdurrahman bin ‘Abdullah bin Mas’ud dari bapaknya yang berkata:”Rasulullah SAW
telah melarang dua transaksi dalam satu transaksi”.
Ini artinya, dua akad
tidak boleh disatukan dalam satu akad, seperti seseorang berkata,”aku jual
rumahku ini kepadamu dengan ketentuan aku jual rumahku yang lain dengan sekian
…..” ini tidak sah. Pasalnya, ucapannya “dengan ketentuan engkau jual rumahmu
kepadaku ” merupakan akad kedua, keduanya dijadikan dalam satu akad, ini tidak
boleh.
Menjawab apakah
murabahah halal atau haram ,, maka pertanyaan pertanyaan itu jatuh pada
keharaman ini, “anda sepakat dengan dia
agar dia membeli tanah dari pemiliknya secara kontan. Lalu dia akan menjual
tanah itu kepada anda setelah jangka waktu tertentu dengan harga yang lebih
tinggi"
keduanya adalah akad yang saling
dipersyaratkan satu sama lain. Ini tidak boleh. Masing – masing wajib
dilaksanakan sendiri – sendiri tanpa dipersyaratkan dengan akad yang lain. (al-‘Alim ‘Atha’
Abu Rusythah, dalam soal jawab murabahah , tanggal 18 rajab 1435 H/ 17 mei 2014
M.)
Kedua, : praktik
murabahah dalam perbankan lebih kompleks daripada praktik murabahah perorangan
diatas. Ini tampak dalam fatwa oleh DSN – MUI,yaitu Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama’
Indonesia , nomer :04/DSN-MUI /IV tentang
murabahah , halaman 1-5. Dan juga bias kita merujuk pada buku nya KH.Hafidz
‘Abdurrahman ,MA,Menggugat Bank Syariah , Al-Azhar Press, Bogor , intinya hal –
hal sebagai berikut :
a.)
Terkait ketentuan umum tentang pembiayaan murabahah .
b.)
Fatwa ini juga menjelaskan ketentuan murabahah
kepada nasabah.
c.)
Fatwa ini juga menjelaskan jaminan dalam murabahah
yang diberikan oleh nasabah
d.)
Karena status akad murabahah ini adalah utang, maka
fatwa ini juga menjelaskan tentang status utang dalam murabahah
e.)
Sebagaimana status pembiayaan ini merupakan utang,
maka fatwa ini juga menjelaskan tentang penundaan pembayaran dalam murabahah.
Maka itu setidaknya
temen – temen seperjuangan dapat tergambarkan fakta terkait murabahah yang
terjadi saat ini, baik dalam konteks perorangan ataupun perbankan selama yang
ada saat ini. Maka bagi kawan – kawan yang ada di ReLIEF dan KSEI – KSEI di semua tempat atau
siapapun pembacanya tidak berpuas diri dalam mencari ilmu – ilmu keekonomian
islam yang menyeluruh. Karena dirasa tulisannya sangat kurang jauh dari kata
untuk sempurna, maka harapannya jangan pernah lengah untuk menggali terus ilmu
– ilmu eonomi yang sesungguhnya dan senyatanya untuk berusaha saling
menyempurnakan satu sama yang lain dalam berproses untuk kebaikan sebagai
ekonom muslim yang professional dn revolusioner.
Wallahu a’lam
Salam pembumian
ekonomi islam!!!! (TERAPKAN!!!) ALLAHU AKBARU
1 comments: