Pertarungan Amerika VS China Mengancam Perekenomian Negeri
Posisi ASEAN memang sangat penting bagi ekonomi dunia. Dengan
jumlah penduduk sebanyak 600 juta jiwa dan sumber daya alam yang sangat
berlimpah, ASEAN akan menjadi penentu bagi masa depan Asia Timur dalam
menggeser hegemoni ekonomi dunia. Tak heran, fakta menunjukkan dominasi China
yang semakin kuat. Bahkan produknya hampir menjajah belahan dunia, tak
terkecuali di Asia Tenggara, termasuk di dalamnya Indonesia.
Setelah menggandeng mitra dari China (RRC) konglomerat
Tionghoa (taipan) kini merambah
bisnis di bumi pertiwi . Hal ini tentunya membuat Amerika Serikar (AS) khawatir dan takut dengan realitas tersebut. Fenomena seperti ini tentu secara tidak langsung menguak pertanyaan, mengapa
RRC dan AS bersaing menguasai ekonomi di Indonesia? Meskipun sudah hampir pasti
China-lah yang unggul. Sebab
kenyataannya investasi perusahaan-perusahaan China di negeri zamrud
khatulistiwa kian deras. November tahun lalu, saat Presiden
Jokowi bertandang ke Beijing, China, ditandatangani 12 MoU investasi antara 11
perusahaan domestik dengan investor China senilai US$ 17,8 miliar. Salah satu contohnya adalah China Sonangol. Di samping membiayai bisnis minyak PT. Surya
Energi Raya milik Surya Paloh di Blok Cepu, China Sonangol, tergolong bisnis
properti. Anak usaha Grup Sonangol Angola pun sudah sejak tiga tahun lalu
membeli EX Plaza Jakarta senilai US$ 71 juta. Tidak
puas sampai di situ, China juga dikabarkan sedang mengincar pertambangan di
pegunungan Grasberg dan Ertsberg di Mimika, Timika, Papua, yang belum semuanya
dieksploitasi oleh PT Freeport Indonesia. Di pegunungan ini masih terkanndung
biji tembaga, uranium, dan emas. Inilah salah satu alasan yang dikabarkan
kenapa AS mendirikan pangkalan militer di Darwin, Australia empat tahun lalu. Petro
China juga sudah
mendapatkan kontrak kerja oleh migas dengan Pertamina di Sukowati dan Tuban,
lapangan migas yang bertetangga dengan Blok Cepu.
Saat ini kekuatan
Tiongkok sedang diuji. IMF mengindikasikan untuk menunda pemasukan yuan ke
dalam keranjang mata uang atau special drawing right yang seharusnya
pada 1 Januari 2016 menjadi 1 Oktober 2016. Hal itu atas desakan AS yang meminta Tiongkok
meliberalisasi rezim kurs.
Menkeu AS Jack Lew mengatakan,
perlu bagi asing untuk memiliki akses dalam perdagangan yuan di dalam negara
Tiongkok. Anggota Kongres AS juga turut menekan Tiongkok agar kurs yuan
ditentukan pasar, bukan oleh pematokan kurs dari pemerintah..
Theo mengatakan, Tiongkok cermat karena tidak mau membiarkan uangnya
menjadi ajang permainan valuta asing, yang terbukti banyak digoyang untuk
keperluan spekulasi. Hal ini telah merugikan beberapa negara. Selain karena
kekhawatiran akan jadi sasaran aksi spekulan, AS adalah negara yang mendambakan
pasar yang bebas di semua bidang. Bagi AS, mekanisme pasar adalah raja pengatur
perekonomian. Hal ini bertentangan dengan paradigma pengelolaan ekonomi
Tiongkok yang didasarkan pada peran pemerintah yang kuat, sebagai regulator dan
pengawas. Peran pemerintah yang kuat ini diakui sangat perlu di dalam
teori-teori ekonomi pembangunan.
Melihat hal itu, wajar jika mereka bersaing untuk menguasai kekayaan yang
ada dalam negara-negara yang menjadi sasarannya termasuk Indonesia. Ini
mengakibatkan kondisi ekonomi Indonesia semakin terancam. Fakta ini menunjukkan kerugian dan kerusakan yang jauh lebih parah,
jika dibandingkan dengan penjajahan fisik tempo dulu. Tragisnya, tidak sedikit
pihak, termasuk para pemimpin bumi pertiwi ini, sadar atau tidak, telah menjadi
bagian yang melanggengkan proses penjajahan tersebut. Kondisi inilah, yang
menampakkan negeri ini tengah dalam ancaman neoimperialisme dan neoliberalisme.
Neoimperialisme adalah penjajahan gaya baru yang disetir oleh
Negara kapitalis untuk tetap menguasai dan mengisap kekayaan Negara-negara
lain. Dulu dikenal dengan semangat gold
(kepentingan penguasaan sumber daya ekonomi), glory (kepentingan kekuasaan politik) dan gospel (kepentingan misionasi Kristiani), sementara dewasa ini,
diantara tiga kepentingan tersebut, yang paling nyata masih berjalan, iyalah
kepentingan gold dan glory. Salah
satu bentuk intervensi yang paling krusial telah dilakukan oleh institusi asing
untuk menanamkan kekuatannya dalam suatu
Negara adalah mendesain sistem, kelembagaan dan regulasi serta menciptakan
sumberdaya manusia yang mampu menjaga
dan menjalankannya. Satu diantara sekian banyak bukti adalah sepak terjang
USAID.
Lembaga bantuan AS bersama dengan lembaga
internasional lainnya untuk pembangunan internasional., sangat giat
mempengaruhi berbagai kebijakan di negeri ini. Tidak cukup kepada Pemerintah,
LSM dan institusi pendidikan, lembaga tersebut bahkan aktif memberikan sumbangsih
kepada DPR terutama untuk memperkuat perannya dalam penyusunan undang-undang
dan penganggaran. Bukan lagi
menjadi hal yang mengejutkan, USAID secara tegas menyebutkan keterlibatannya
dalam beberapa dokumen pada situs resminya. Sejumlah di antaranya bersama
lembaga bantuan lain seperti Bank Dunia, ABD dan IMF, menyokong penyusunan
sejumlah undang-undang di negeri ini, UU tersebut antara lain: UU Perseroan
Terbatas, UU Otonomi Daerah, UU Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan
Daerah, UU Anti Terorisme, UU Anti Pencucian Uang, UU Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, UU tentang Hak Kekayaan Intelektual, UU Kehutanan, UU Anti
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat, UU Migas dan UU Kelistrikan, hingga UU Penanaman Modal tahun 1967, yang
merupakan UU pertama di masa Orde Baru. Celakanya, juga digagas oleh Pemerintah
AS.
Belum cukup sampai di situ, hal yang sama pun juga dilakukan oleh
IMF. Lembaga
multinasional tersebut, terlibat dalam penanganan krisis tahun 1997/1998,
sebagaimana diakui oleh Jack Boorm, Managing
Director IMF, IMF memberikan 70 kali bantuan teknis baik dalam kebijakan
makroekonomi maupun dalam reformasi struktural. Masalah yang ditangani antara
lain: desentralisasi fiskal, regulasi perpajakan, manajemen utang pemerintah,
perbankan, bank sentral, kebijakan moneter, nilai tukar hingga masalah
statistik perekonomian.[1]
Sejumlah UU yang diinisiasi oleh lembaga tersebut seperti:
Undang-Undang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar, UU Perbankan dan UU
Bank Indonesia dan beberapa UU Perpajakan.[2]
Tak mau ketinggalan, lembaga ini juga memperkuat laju percepatan
liberalisasi ekonomi dengan memangkas tarif impor, memprivatisasi sejumlah BUMN
dan memangkas kewenangan Pemerintah. Meski keterlibatan IMF di Negara ini
secara formal telah berakhir, tapi reformasi struktural di bidang ekonomi yang
telah dirancang IMF, hingga kini masih terus berjalan dengan adanya
neoliberalisme.
Keberadaan neoliberalisme merupakan wujud perkembangan mutakhir
kapitalisme abad ke-20, sebagai upaya untuk kembali kepada kapitalisme versi
liberalisme klasik yang mengutamakan pasar. Andrew Heywood dalam bukunya Politics (2002:49) mendefinisikan
neoliberalisme sebagai, “…an updated
version of classical economy that was developed in the writings of free-market
economists…” ([neoliberalisme adalah] suatu versi terbaru dari ekonomi
klasik yang awalnya dikembangkan dalam tulisan-tulisan para ahli ekonomi yang
mendukung pasar bebas).[3](Poppy S. Winanti,
Melacak Asal-Usul Neoliberalisme, 2007; www.poppysw.staff.ugm.ac.id)
Paham ini menghendekaki pengurangan
peran Negara dalam ekonomi. Dalam pandangan neoliberalisme, Negara dianggap
sebagai penghambat utama penguasaan ekonomi oleh individu/korporat. Pengurangan
peran negara dilakukan dengan: privatisasi sektor publik seperti migas,
listrik, jalan tol dan lainnya: pencabutan subsidi komoditas strategis, seperti
migas, listrik, pupuk dan lainnya: penghilangan hak-hak istimewa BUMN melalui
berbagai ketentuan dan perundang-undangan yang menyetarakan BUMN dengan usaha
swasta.
Ancaman neoliberalisme tentu semakin besar dengan pemberlakuan MEA
(Masyarakat Ekonomi ASEAN) mulai tahun 2015 ini. MEA sebagaimana blok pasar
bebas lain, merupakan kekuatan stategi kapitalisme global untuk meluaskan
hegemoninya, khususnya di kawasan Negara-negara berkembang termasuk
Indonesia. Dalam pasar bebas, semua hambatan masuk barrier to entry baik
tariff maupun non tariff seperti regulasi, penetapan
kuota, subsidi, bea
cukai dan lainnya yang selama ini dibuat untuk melindungi produk dalam negeri akan dihapus. Dengan demikian, penerapan neoliberalisme mampu melumpuhkan peran
negara menuju corporate state (korporatokrasi).
Ketika itu, Negara dikendalikan oleh persekutuan jahat antara politikus dan
pengusaha.
Akibatnya tentu saja, keputusan-keputusan politik tidak dibuat
untuk kepentingan rakyat, tetapi untuk kepentingan korporat (perusahaan) baik
domestik maupun asing. Sementara itu,
demokratisasi di segala bidang pasca Reformasi,
khususnya di bidang politik dengan pemberlakuan model pemilihan langsung untuk
kepala daerah dan presiden serta pemilihan anggota legislatif berdasar suara
terbanyak, telah membuka peluang bagi kekuatan
kapitalis global untuk semakin mempererat pengaruhnya di bumi pertiwi. Dengan
kekuatan dana, mereka masuk dalam kontestasi politik di Indonesia. Dengan
harapan, orang-orang yang didukung, mereka yang akan menentukan pemilihan
pejabat publik dan memberikan arah kebijakan ke depan. Hal ini terbukti dari kebijakan-kebijakan dan
peraturan perundangan yang sangat liberal dan kental dipengaruhi kepentingan
asing.
Justifikasi kepemimpinan bapak Jokowi-JK yang bergegas menaikkan
harga BBM. Menampakkan bukti kebijakan yang sangat sarat kepentingan asing. Meskipun
kemudian diturunkan, namun tidak bisa menutupi maksud sesunggunya dari
kebijakan itu, yakni pemberlakuan liberalisasi migas secara total. Keputusan bapak Jokowi–JK mencabut subsidi BBM dan menetapkan harga sesuai
dengan harga pasar. Inilah yang dinantikan oleh perusahaan migas asing agar
mereka bisa leluasa masuk di sektor niaga BBM. Ini bisnis yang luar biasa
besar, namun ironis dan cukup menggelitik. Mereka mengambil minyak di
Indonesia, lalu diolah dan dijual di Indonesia, tetapi dengan harga Internasional.
Setiap tahun, perusaaan migas asing diperkirakan bisa meraup untung tak kurang
dari Rp. 150 triliun.
Maka bisa kita simpulkan bersama,
Neoimperialisme dan neoliberalisme tentu saja berdampak sangat buruk dan
mengancam ketahanan negeri zamrud katulistiwa ini. Diantaranya,
tingginya angka kemiskinan dan kesenjangan ekonomi, kerusakan moral, korupsi,
persoalan kemiskinan yang kenal titik ujung, dan kriminalitas yang kian
merajalela. Banyaknya pejabat dan anggota legislatif yang menjadi tersangka korupsi
menjadi bukti sangat nyata perilaku mereka yang menghalalkan segala cara, guna
mengembalikan investasi politiknya.
Ekspoloitasi SDA di negeri ini secara brutal juga menunjukkan
bagaimana para pemimpin negeri ini telah gelap mata dalam memperdagangkan kewenangannya
sehingga membiarkan kekayaan alam yang semestinya untuk kesejahteraan rakyat itu dikerok oleh korporasi domestik
maupun asing. Kenyataan buruk itu makin diperparah oleh kebijakan-kebijakan politik seperti
kenaikan harga BBM, elpiji, tariff listrik, dan lain-lain.
Sementara itu, demokrasi yang dipercaya sebagai sistem politik
terbaik, yang akan mewadahi aspirasi rakyat, justru menghadirkan kekecewaan.
Rakyat hanya diperhatikan saat kampanye. Setelah terpilih, anggota legislatif,
kepala daerah, bahkan presieden, lebih memperhatikan para penyokongnya.
Lahirnya UU-UU liberal, dan tunduknya pemerintah terhadap perusahaan asing
seperti freeport adalah bukti nyata pengabaian aspirasi rakyat serta ketundukan
Pemerintah pada kekuatan para cukong di dalam dan luar negeri. Tidak aneh jika
dikatakan., dalam demokrasi tidak ada yang namanya kedaulatan rakyat: yang ada
adalah kedaulatan para pemilik modal.
Sebagai mahasiswa sepatutnya mengakhiri mata rantai sistem yang
selalu mengelilingi sendi kehidupan bumi pertiwi. Dengan menganalisis akar
masalah yang tumbuh ditengah-tengah masyarakat dan tidak hanya diselesaikan
dengan omong kosong, atau hanya berputar-putar di sekitar masalah itu ke itu
saja, penuh klise-klise usang, kering dan kerdil. Saatnya kita mencari cahaya, mencari
pencerahan dari semua keterpurukan ini. Cahaya itu tak lain adalah islam yang
didalamnya juga mengatur terkait ekonomi dalam islam. Lebih lanjutnya silahkan
komentar dan diskusi .
Sumber:
Jack Boorman and Andrea Richter Hume (2003).Life with the IMF:
Indonesia’s Choices for the Future. https://www.imf.org/external/np/speeches/2003/071503.htm
Bob Sugeng
Hadiwinata (2002), Politik Bisnis Internasional. Yogyakarta: Kanisius. Hal.
203.
Poppy S.
Winanti, Melacak Asal-Usul Neoliberalisme, 2007; www.poppysw.staff.ugm.ac.id
[1] Jack Boorman and Andrea Richter Hume (2003).Life with the IMF:
Indonesia’s Choices for the Future. https://www.imf.org/external/np/speeches/2003/071503.htm
[2] Bob Sugeng
Hadiwinata (2002), Politik Bisnis Internasional. Yogyakarta: Kanisius. Hal.
203.
Siapa yg bakal menang menjadi adidaya ekonomi? AS ataukah China? Kenapa?
ReplyDeletecc https://www.facebook.com/sitti.fatimah.
ReplyDeletesebenarnya china memiliki peluang besar untuk menjadi penguasa ekonomi dengan kekuatan produksi dan ekspornya yang tinggi, hanya saja penggunaan dolar sebagai mata uang internasional masih menjadi hambatan mengapa hari ini adidaya ekonomi masih dikuasai AS
ReplyDelete