Kilas Balik Sejarah dan Peran Asuransi Syariah di Indonesia

Asuransi syariah sebagai salah satu elemen industri keuangan syariah telah cukup lama keberadaannya di tanah air. Kehadiran asuransi syariah di Indonesia hanya berselisih sekitar dua tahun saja dengan bank syariah, yang lebih dahulu memulai operasionalnya di negeri ini sejak tahun 1992. Praktisi ekonomi syariah – Dr. Jafril Khalil menceritakan kepada Mysharing.co di Jakarta baru-baru ini, tentang sejarah dan peran asuransi syariah di Indonesia semenjak awal pendiriannya sampai sekarang ini.

Menurut Jafril Khalil, perjalanan sejarah asuransi syariah di dalam memberikan kontribusi di bumi Indonesia ini dimulai tanggal 27 Juli 1993 para pemimpin Islam di Indonesia, yang dimotori oleh ICMI, dan dibantu oleh Bank Muamalat Indonesia, Asuransi Tugu Mandiri dan Departemen Keuangan yang diwakili Firdaus Djaelani dan Karnaen. A. Perwataatmadja membentuk tim yang dinamakan TEPATI.

TEPATI inilah yang mempelajari seluk beluk teknis asuransi syariah, mereka melakukan berbagai riset diantaranya melakukan studi banding ke Syarikat Takaful Malaysia karena perusahaan ini sudah lebih awal mendirikan asuransi Islam.

Setelah diadakan berbagai kajian, studi banding, dan seminar maka akhirnya pada tanggal 24 Februari 1994 berdirilah PT. Syarikat Takaful Indonesia sebagai holding company dengan Dirut Rahmat Husein yang selanjutnya mendirikan dua anak perusahaan yaitu PT. Asuransi Takaful Keluarga yang didirikan pada tanggal 25 Agustus 1994, diresmikan oleh Menteri Keuangan yang pada waktu itu dijabat oleh Marii Muhammad di Hotel Syahid, dan PT. Asuransi Takaful Umum yang didirikan pada tanggal 2 Juni 1995 bertepatan dengan 1 Muharram 1416 H, diresmikan oleh Menristek/Ketua BPPT BJ.Habibie di Hotel Shangrila.

Dijelaskan Jafril, Takaful berjalan sendiri tanpa kompetitor selama kurang lebih delapan tahun. Setelah itu barulah bermunculan asuransi-asuransi syariah lainnya yang sampai saat ini jumlahnya sudah mencapai 42 asuransi syariah, dengan perincian ada sekitar 20 perusahaan yang beroperasi sebagai Asuransi Jiwa Syariah yang di dalamnya terdapat 3 perusahaan yang berbentuk syariah penuh dan 17 berbentuk unit usaha syariah. Adapun asuransi umum syariah berjumlah 22 perusahaan dengan perincian 20 unit usaha syariah dan 2 asuransi syariah full fledge.

Menurut Jafril, asuransi syariah adalah suatu produk yang pada awalnya berjalan sangat lamban karena masyarakat belum mengenalnya, tentu untuk mensosialisasikan produk ini memerlukan waktu yang sangat panjang, apalagi dari segi permodalan ketika itu Takaful masih sangat kecil dibandingkan dengan Asuransi Konvensional.

“Tentu saja ini menjadi hambatan dalam mempercepat penetrasi pasar asuransi syariah di Indonesia. Dan kalau diperhatikan pula undang-undang yang menjadi acuan dalam menjalankan asuransi syariah boleh dikatakan sangat minim. Akibatnya berpengaruh kepada pertumbuhan asuransi syariah itu sendiri,” ujar Jafril.

Jafril lalu memaparkan, jika dirata-ratakan pertumbuhan asuransi syariah semenjak berdiri (1994) sampai sekarang, ia hanya tumbuh kurang lebih sekitar 30-40% per tahun. Sedangkan pertumbuhan asuransi konvensional jauh melebihi angka itu. Pertumbuhan asuransi syariah sangat lamban meskipun pertumbuhan ekonomi Indonesia sangat bagus dalam sepuluh tahun terakhir. Baca juga: Ekonomi Syariah akan Lebih Baik pada 2015

Dengan realita tersebut, lanjut Jafril, tentu peran asuransi syariah ini sangat kecil dalam rangka memberikan pelayanan kepada masyarakat Indonesia yang jumlahnya sudah melewati 250 juta jiwa.

Dan jika kita bandingkan dengan negara tetangga Malaysia, aset asuransi syariah di Malaysia itu sudah melebihi 20% dari total aset industri asuransi di Malaysia. Tentu saja peran asuransi syariah ini cukup menyedihkan dalam membangun perekonomian berbasis syariah di Indonesia.

Jafril lalu memaparkan, apabila kita melakukan analisa, maka ada berbagai rintangan yang menyebabkan lemahnya pertumbuhan asuransi syariah di Indonesia di antaranya, permodalan.

“Karena dalam industri asuransi dibutuhkan perusahaan yang memiliki modal yang kuat, dengan demikian publik bisa yakin sepenuhnya bahwa perusahaan asuransi syariah itu bonafit dan mampu membayar klaim apabila terjadi risiko terhadap nasabahnya. Di samping itu nasabah juga sangat yakin bahwa uang mereka tidak disalahgunakan,” jelas Jafril.

Lanjut Jafril, kepercayaan masyarakat seperti ini akan dapat mengundang para peserta asuransi syariah sebanyak-banyaknya, dalam hal ini tentu kita perlu mengimbau kepada pemegang saham asuransi untuk memberikan modal yang kuat terhadap perusahaan asuransi syariah.

Faktor hambatan berikutnya, tambah Jafril, adalah tidak sepenuh hatinya pemerintah membangun industri asuransi syariah yang kuat, sampai saat ini undang-undang asuransi syariah belum ada di Indonesia, padahal undang-undang tersebut sangat dibutuhkan untuk menentukan visi, misi dan arah asuransi syariah ke depannya. Karena asuransi syariah itu merupakan produk khusus dan sudah pasti ia memiliki aturan khusus terkait dengan manajemen risiko, sistem investasi, sistem pembinaan SDM dan model-model bisnisnya.

Disamping itu, sebagai industri baru pemerintah juga seharusnya memberikan insentif terhadap industri ini agar ia mampu berkompetisi dengan pemain-pemain yang sudah lama. Seandainya pemerintah tidak memberikan perhatian khusus terhadap asuransi syariah maka industri ini akan terus ditinggalkan oleh perusahaan asuransi konvensional.

“Hambatan berikutnya adalah sikap masyarakat Islam sendiri yang tidak merasa memiliki asuransi syariah ternyata dengan kurangnya jumlah pemegang polis asuransi syariah di Indonesia. Kemungkinan hal ini terjadi karena kurangnya sosialisasi dan edukasi di masyarakat. Tentu saja ini memerlukan usaha maksimal dari seluruh para penggiat ekonomi syariah dan diharapkan ke depan adanya perbaikan strategi dalam sosialisasi ini,” ujar Jafril memberikan saran.

Terakhir, menurut Jafril, adalah hambatan yang datang dari industri asuransi syariah itu sendiri dan asosiasinya yang masih kurang mempunyai kesungguhan bersama dalam mengedukasi masyarakat, serta masih adanya kompetisi yang kurang sehat di antara sesama perusahaan asuransi syariah sendiri.

“Walau bagaimanapun kita mesti optimis untuk ke depan bahwa industri asuransi syariah bisa memainkan peranan yang lebih baik dan bisa mengejar ketertinggalannya seandainya masing-masing stakeholders mau mengevaluasi diri dan mau memperbaiki setiap kelemahan yang terjadi di masa lalu. Dengan Undang-Undang Asuransi yang baru yang sudah mengakomodir keberadaan asuransi syariah secara lebih lengkap, diharapkan asuransi syariah akan semakin berkembang dengan lebih baik di Indonesia,” demikian tutup Jafril Khalil.


Sumber: http://mysharing.co/kilas-balik-sejarah-dan-peran-asuransi-syariah-di-indonesia/?utm_source=feedburner&utm_medium=feed&utm_campaign=Feed%3A+mysharing%2FsTvX+%28MySharing%29

0 comments: